Pembuatan Preparat Pollen dengan Metode Asetolisis

Kamis, 29 Desember 2011

BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang
Seperti mahluk hidup lainnya, tanaman juga dapat berkembang biak. Perkembangbiakan tanaman secara garis besar dapat dibagi menjadi 2 yaitu perkembangbiakan secara alami dan juga buatan (Anonim, 2009).
Perkembangbiakan alami adalah perkembangbiakan tanaman oleh tanaman itu sendiri secara alami atau dibantu oleh alam. Sedangkan perkembangbiakan secara buatan adalah perkembangbiakan tanaman yang mendapat campur tangan manusia (Anonim, 2009).
Tanaman berkembangbiak secara alami melalui berbagai macam cara. Tanaman berkembangbiak secara alami dengan 2 cara yaitu generatif dan vegetatif. Generatif adalah bahwa tanaman tersebut berkembang biak secar kawin, yaitu bertemunya sel jantan yang terdapat pada benang sari dan sel betina yang terdapat pada putik. Bertemunya 2 sel ini nantinya akan menghasilkan buah yang berbiji 2 yaitu dikotil. Tanaman yang dikembangbiakkan melalui cara ini biasanya memiliki sifat genetis yang berbeda dari tanaman induk dan biasanya mengalami kemunduran (Anonim, 2009).
Perkembangbiakan secara vegetative dapat terbentuk dari sel jaringan nucellus, serta terbentuknya tanaman dari bagian bagian khusus yaitu umbi, rhizome, runner dan anakan. Perkembangbiakan dengan terbentuknya umbi juga terbagi menjadi beberapa cara yaitu umbi lapis seperti terbentuknya bawang dan bunga tulip, umbi sisik seperti terbentuknya bunga gladiol, umbi batang seperti terbentuknya kentang dan umbi akar seperti terbentuknya ubi jalar (Anonim, 2009).
Berdasarkan teori diatas maka dilakukanlah percobaan tentang pembuatan preparat pollen dengan menggunakan metode asetolisis.

I.2 Tujuan Percobaan
            Tujuan dari percobaan ini yaitu untuk mengetahui cara pembutan preparat serbuk sari kembang sepatu Hibiscus rosa-sinensis dengan menggunakan metode asetolisis.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Perkembangbiakan pada tumbuhan biji terletak pada bunga. Bunga merupakan alat perkembangbiakan generatif pada tumbuhan biji. Bunga mempunyai dua bagian utama, yaitu perhiasan bunga dan alat kelamin bunga. Perhiasan bunga terdiri atas kelopak dan mahkota. Alat kelamin bunga terdiri atas putik dan benang sari (Nugroho, 2006).
Putik yaitu alat kelamin betina yang terdiri atas kepala putik, tangkai putik, dan bakal buah. Kepala putik merupakan tempat berlangsungnya penyerbukan. Didalam bakal buah terdapat bakal biji yang merupakan tempat terjadinya pembuahan. Antara kepala putik dan bakal buah duhubungkan oleh tangkai putik. Benang sari yaitu alat kelamin jantan yang terdiri atas tangkai sari dan kepala sari. Didalam kepala sari terdapat kantung serbuk sari yang menghasilkan serbuk sari (Hamka, 2010).
Mahkota yaitu helaian berwarna yang berfungsi untuk menarik perhatian serangga atau hewan lain. Letaknya melingkar disebelah dalam kelopak dan mengelilingi alat kelamin bunga. Selain dilengkapi kelopak dan mahkota, bunga ada yang dilengkapi dengan aroma dan kelenjar madu untuk mengundang kedatangan hewan tertentu. Kelopak yaitu alat perhiaan bunga yang berfungsi sebagai pelindung bunga pada saat masih kuncup dan sebagai penyangga bunga pada saat bunga sudah mekar. Kelopak bunga pada umumnya berwarna hijau (Hamka, 2010).
Asetolisis adalah salah satu metode pembuatan preparat serbuk sari yang menggunkan prinsip melisiskan dinding sel serbuk sari dengan asam asetat glasial serta asam sulfat pekat sebagai bahan tambahan. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan hasil amatan morfologi dinding serbuk sari ornamentasi dari serbuk sari tersebut. Serbuk sari yang digunakan dalam pembuatan preparat ini haruslah merupakan serbuk sari yang matang. Serbuk sari yang matang ini dapat ditandai dengan sudah tidak ada air dalam serbuk sari tersebut, jika serbuk sari dipatahkan maka hanya akan seperti tepung saja (Riza, 2011).
Langkah-langkah dari proses asetolisis ini antara lain adalah fiksasi, pemanasan, pencucian, pewarnaan (staining), penutupan (mounting), dan labelling. Langkah pertama yaitu fiksasi serbuk sari. Fiksasi adalah suatu usaha untuk mempertahankan elemen-elemen sel atau jaringan, dalam hal ini serbuk sari agar tetap pada tempatnya, dan tidak mengalami perubahan bentuk maupun ukuran dengan media kimia sebagai fiksatif. Fiksasi umumnya memiliki kemampuan untuk mengubah indeks bias bagian-bagian sel, sehingga bagian-bagian dalam sel tersebut mudah terlihat di bawah mikroskop. Tetapi tidaklah berarti banyak, karena tanpa diwarnai bagian-bagian jaringan tidak akan dapat jelas dibedakan satu sama lain, dan untungnya fiksatif mempunyai kemampuan untuk membuat jaringan mudah menerap zat warna. Dari proses fiksasi ini, fiksatif diharapkan akan (Anonim, 2010) :
Menghentikan proses metabolisme dengan cepat
Mengawetkan elemen sitologis dan histologis
Mengawetkan bentuk yang sebenarnya
Mengeraskan atau memberi konsistensi material yang lunak biasanjya secara koagulasi, dari protoplasma dan material-material yang dibentuk oleh protoplasma
Ada dua macam fiksatif, yaitu fiksatif sederhana dan majemuk atau campuran. Fiksatif sederhana merupakan larutan yang di dalamnya hanya mengandung satu macam zat saja, sedangkan fiksatif majemuk atau campuran adalah larutan yang di dalamnya mengandung lebih adri satu macam zat. Fiksatif yang digunakan serbuk sari dalam pembuatan preparat ini ada satu bahan utama yaitu asam asetat glasial dan satu bahan tambahan, yaitu H2SO4 (asam sulfat) pekat. Kedua fiksatif tersebut termasuk dalam fiksatif sederhana. Asam asetat adalah cairan yang tidak berwarna dengan bau yang tajam. Sedangkan asama asetat glasial adalah asam asetat yang padat dan murni serta dapat mencair pada suhu 117°C. Asam asetat dapat bercampur dengan alkohol dan air. Fiksatif ini dibuat dengan jalan distilasi dari kayu dalam ruang hampa udara. Hasil distilasi ini adalah piroligneous, dimana piroligneous ini adalah campuran yang mengandung asam asetat yang kemudian asam asetat ini kemudian dipisahkan dari campurannya (Anonim, 2010).
Asam asetat dapat mengendapkan nukleoprotein, tetapi melarutkan histon dalam nukleus, tidak melarutkan lemak, juga bukan pengawet karbohidrat. Daya penetrasinya cepat, tetapi dapat membengkakkan jaringan,  ini disebabkan oleh bertambahnya diameter serabut-serabut dalam jaringan tersebut. Asam asetat memiliki dua fungsi dalam sitologi, yaitu mencegah pengerasan dan mengeraskan kromosom. Dalam konsentrasi tinggi, asam asetat dapat menghancurkan mitokondria dan apparatus golgi (Anonim, 2010).
Setelah fiksasi minimal 24 jam, selanjutnya yang dilakukan adalah centrifuge serbuk sari dan fiksatif dengan kecepatan 2000 rpm selama 10 menit. Tujuan dari centrifuge ini adalah memisahkan serbuksari dan asam asetat glacial, karena serbuk sari berukuran kecil dan bercampur dengan asam asetat glacial sehingga serbuk sari susah untuk diambil, maka diperlukan centrifuge. Dari hasil centrifuge ini akan terbentuk supernatan asam asetat dan endapan serbuk sari. Asam asetat kemudian dibuang, sehingga didapatkan serbuk sari yang mengendap di dasar tabung centrifuge saja. Pembuangan asam asetat ini perlu kehati-hatian agar serbuk sari yang mengendap di dasar tabung tidak menyebar kembali dalam larutan asam asetat dan akan ikut terbuang (Anonim, 2010).
Larutan campuran antara H2SO4 pekat dan asam asetat glasial dengan perbandingan 1 : 9 pada tabung centrifuge yang berisi endapan serbuk sari. Penambahan larutan kemudian diikuti dengan pemanasan campuran larutan tersebut di dalam waterbath (penangas air) di atas lampu spiritus. Pemanasan ini dilakukan hingga air dalam penangas mendidih. Pemanasan larutan ini bertujuan untuk mempercepat terjadinya reaksi yang terjadi pada serbuk sari. Sedangkan penambahan H2SO4 dan asam asetat glasial dengan perbandingan 1:9 ini berfungsi untuk untuk melisiskan selulosa pada dinding serbuk sari (asetolisis), sehingga setelah dibuat preparat, morfologi eksin serbuk sari akan terlihat lebih jelas dibandingkan dengan sebelum asetolisis. Selain itu, asetolisis ini juga berfungsi seperti proses fiksasi, yaitu memelihara atau mempertahankan struktur dari serbuk sari (Anonim, 2010).
Setelah pemanasan dalam waterbath selesai, serbuk sari dalam larutan akan berubah warna menjadi agak kecoklatan. Serbuk sari dan larutan yang dipanaskan ini kemudian didinginkan sejenak. Setelah dingin, langkah selanjutnya adalah melakukan centrifuge untuk mendapatkan serbuk sari yang telah terasetolisis, memisahkannya dari larutan asam asetat glasial dan H2SO4 pekat. Centrifuge dilakukan selama 10 menit dan dengan kecepatan 2000 rpm. Hasil centrifuge adalah supernatan di bagian atas tabung centrifuge, yaitu larutan asam asetat glasial dan asam sulfat pekat serta endapan di dasar tabung, yaitu serbuk sari yang telah terasetolisis. Supernatan kemudian dibuang secara hati-hati agar serbuk sari kyang sudah mengendap tidak menyebar kembali kedalam larutan dan ikut terbuang (Anonim, 2010).
Pencucian serbuk sari dengan aquadest sebanyak dua kali. Pencucian dilakukan dengan penambahan aquadesh ke dalam tabung centrifuge yang berisi serbuk sari kemudian melakukan centrifuge untuk mendapatkan serbuk sari yang sudah bersih. Perlakuan tersebut dilakukan dua kali untuk mendapatkan serbuk sari yang bersih tanpa ada sisa zat kimia seperti fiksatif dalam serbuk sari yang akan dibuat preparat (Anonim, 2010).
Pewarnaan adalah untuk meningkatkan kontras warna serbuk sari dengan sekitarnya sehingga memudahkan dalam pengamatan serbuk sari doi bawah mikroskop. Pewarnaan dapat memperjelas bentuk ornamen dinding sel serbuk sati serta mempermudah mengetahui ukuran serbuk sari. Safranin adalah suatu chlorida dan zat warna  basa yang kuat. Zat warna ini tergolong dalam zat warna golongan azine, yaitu zat warna yang mengandung cincin orthoquinonoid yang dihubungkan dengan bentuk cincin lainnya melalui 2 atom N. Sebenarnya, zat warna ini akan mewarnai dengan sangat baik bila jaringan difiksasi dengan larutan fleming. Dalm pembuatan preparat serbuk sari, pewarnaan serbuk sari menggunakan safranin hasilnyas lebih baik. Dalam proses pewarnaan, safranin dilarutkan dalam sedikit aquades, hal ini masih dilakukan dalam tabung centrifuge. Setelah pewarnaan serbuk sari, kemudian dilakukan centrifuge kembali yang ditujukan untuk mendapatkan serbuk sari yang terwarnai dengan memisahkannya dengan larutan safranin dan aquades. Centrifuge dilakukan selama 10 menit dan dengan kecepatan 2000 rpm. Hasil dari sentriufuge adalah supernatan berupa larutan safranin dan aquadesh yang selanjutnya dibuang dan endapan berupa serbuk sari di dasar tabung yang selanjutnya digunakan untuk pembuatan preparat serbuk sari (Anonim, 2010).
Mounting atau penutupan ini merupakan langkah penting dalam pembuatan preparat, dimana serbuk sari diambil dari dasar tabung centrifuge kemudian diletakkan pada salah satu sisi object glass. Kemudian, di masing-masing sisi dari serbuk sari yang diletakkan ini disusun empat potongan kecil parafin. Selanjutnya di atas serbuk sari diletakkan potongan lembaran gliserin jelli. Susunan tersebut perlu dipertimbangkan peletakannya agar dapat dihasilkan preparat yang rapi dan proporsional. Setelah penyusunan gliserin jelli, parafin, dan serbuk sari selesai, langkah berikutnya dalam mounting adalah penutupan susunan tersebut dengan cover glass. Pemanasan ditujukan untuk mencairkan parafin dan gliserin jelli agar dapat menutup serbuk sari, sehingga dihasilkanlah preparat serbuk sari yang tahan dalam selang beberapa waktu (Anonim, 2010).
Langkah – langkah proses pembuatan preparat dengan metode asetolisis yaitu (Suntoro, 1983) :
Fiksasi
Pemanasan
Pencucian
Pewarnaan
penutupan

BAB III
METODE PERCOBAAN

III.1 Alat
            Alat yang digunakan dalam percobaan ini yaitu pipet tetes, botol sampel, objek glass, degglass, sentrifuse, waterbath, pinset, bunsen, gegep dan tabung reaksi.

III.2 Bahan
            Bahan yang digunakan dalam percobaan ini yaitu air, serbuk sari kembang sepatu Hibiscus rosa-sinensis, aquadest, H2SO4 pekat, asam asetat glasial, parafin, label dan safranin.

III.3 Cara Kerja
Cara kerja pada percobaan ini yaitu :
Melakukan fiksasi yaitu merendam serbuk sari dengan menggunakan asam glacial sebanyak beberapa tetes pada botol sampel selama 24 jam. Kemudian melakukan sentrifuse selama 10 menit.
Melakukan pamanasan dengan menggunakan asam sulfat (H2SO4) pekat dengan asam glacial dengan perbandingan 1 : 9, selanjutkan disentrifuse selama 10 menit.
Melakukan pencucian sebanyak 2x dengan menggunakan aquades kemudian disentrifuse selama 10 menit.
Melakukan pewarnaan dengan menggunakan safranin 5 ml dan aquades, kemudian disentrifuse selama 10 menit.
Melakukan peenutupan yaitu mengambil serbuk sari dengan menggunakan piset, keemudian meletakkan serbuk sari pada preparat. Setelah itu menaruh potongan parafin kecil pada tiap sudut objek gelas, kemudian memanaskan diatas bunsen agar parafin mencair.
Melakukan labeling yaitu memberi label pada preparat.
Melakukan pengamatan dibawah mikroskop untuk melihat bagian – bagian pollen serta menggambar hasil pengamatannya




BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

           Jenis pollen pada berbagai tanaman yaitu polen pada Gramine berbentuk bulat sedikit takteratur, dengan ukuran kurang dari 50 μm. Polen Hibiscus rosasinensis pollen berbantuk bulat dan dilengkapi spina atau duri-duri disekelilingnya. Bentuk Polen jambu air Eugenia sp. terlihat agak lonjong dan berukuran lebih besar dibanding polen Crinum asiaticum dan Eichornia crassipes. Sementara untuk spora paku Drymoglossum sp. berbentuk  bulat dengan spina pendek di sekelilingnya hampir menyerupai polen hibiscus tetapi berukuran lebih kecil dan terlihat jelas masih adanya sporangium.
Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh bahwa pollen bunga kembang sepatu Hibiscus rosasinensis berbentuk bulat dan dilengkapi spina atau duri-duri disekelilingnya. Dinding serbuk sari terdiri dari dua lapisan, yaitu Eksin (lapisan luar)  tersusun atas sporopolenin, dan In tin (lapisan dalam) yang tersusun atas selulosa. Struktur dinding serbuk sari, khususnya bagian eksin, merupakan salah satu karakter yang digunakan dalam identifikasi. Struktur halus eksin dapat dibedakan menjadi tiga tire, yaitu: tektat, semitektat, dan intektat.
Bagian-bagian pollen:
Pollen apertur adalah apapun modifikasi dari dinding serbuk sari gandum. Modifikasi tersebut meliputi menipis, pegunungan dan pori-pori, mereka berfungsi sebagai jalan keluar untuk isi serbuk sari dan memungkinkan menyusut dan pembengkakan pada gandum yang disebabkan oleh perubahan kadar air.
Serbuk sari atau pollen (bahasa Inggris) merupakan alat penyebaran dan perbanyakan generatif dari tumbuhan berbunga. Serbuk sari merupakan modifikasi dari sel sperma. Secara sitologi, serbuk sari merupakan sel dengan tiga nukleus, yang masing-masing dinamakan inti vegetatif, inti generatif I, dan inti generatif II.
Sel dalam serbuk sari dilindungi oleh dua lapisan (disebut intine  Sekelompok sel yang dikelilingi oleh selulosa dinding sel yang kaya disebut intineuntuk yang di dalam dan exine yang di bagian luar)  tahan dinding luar sebagian besar terdiri dari sporopollenin untuk mencegahnya mengalami dehidrasi.

BAB V
PENUTUP

V.1 Kesimpulan
               Kesimpulan yang diperoleh dari percobaan ini adalah :
Metode asetolisis merupakan salah satu metode pembuatan preparat serbuk sari yang menggunakan prinsip melisiskan dinding sel serbuk sari dengan asam asetat glasial serta asam sulfat pekat sebagai bahan tambahan.
Tahapan pada proses ini yakni fiksasi, pemanasan, pencucian, pewarnaan (Staining ), Penutupan ( Mounting ),  dan  labelling.
Pollen bunga kembang sepatu Hibiscus rosasinensis berbentuk bulat dan dilengkapi spina atau duri-duri disekelilingnya. Dinding serbuk sari terdiri dari dua lapisan, yaitu Eksin (lapisan luar)  tersusun atas sporopolenin, dan In tin (lapisan dalam) yang tersusun atas selulosa.



DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2010, Perkembangbiakan Tanaman, http://duniatanaman.com/, diakses pada tanggal 8 Oktober 2011.

Anonim, 2010, Preparat Pollen dan Spora, http://t4q1y4.blog.com/, diakses pada tanggal 8 Oktober 2011.

Anonim, 2010, Palaeobotani, http://www.scribd.com/, diakses pada tanggal 8 Oktober 2011.

Hamka, 2010, Bunga Sebagai Alat Perkembangbiakan Pada Tumbuhan, http://hamkasukau.blogspot.com, diakses pada tanggal 8 Oktober 2011.

Nugroho, hartono dkk., 2006, Struktur dan Perkembangan Tumbuhan, Penebar Swadaya, Depok.

 Suntoro, Handari, 1983, Metode Pewarnaan (Histologi dan Histokimia), Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta.


Pembuatan Preparat dengan metode Parafin

BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang
Jaringan dalam bahasa Perancis adalah "tissue" yang pertama kali digunakan oleh Bichat seorang ahli anatomi dan fisiologi dari Perancis yang terkesan oleh ragam anyaman yang dijumpainya sewaktu mendeteksi tubuh. Observasi mikroskop pada jaringan yang berbeda memastikan bahwa satuan terkecil dari jaringan dibentuk oleh sel, sel inilah merupakan struktur terkecil yang membentuk tubuh manusia,hewan dan tumbuhan (Lianury, 2000).
Tubuh tumbuhan secara morfologi terdiri atas unit sel yang dilindungi oleh dinding, dan masing-masing sel dengan mengadakan kesatuan dengan adanya substansi antar sel. Di dalam tubuh tumbuhan sel-sel ini terdapat dalam kelompok yang secara struktural dan fungsional berbeda dengan kelompok sel yang lain. Kelompok-kelompok sel-sel tersebut dikenal dengan jaringan (Amanda, 2007).
Preparat awetan jaringan tumbuhan adalah salah satu media pembelajaran Biologi yang sangat efektif. Dengan latar belakang seperti di atas, maka diharapkan kita dapat mengamati dan melihat preparat dengan menggunakan metode paraffin dengan pewarnaan tunggal (Amanda, 2007).
Sel tumbuhan mempunyai bentuk, ukuran dan struktur yang bervariasi. Struktur sel rumit, namun demikian semua sel mempunyai persamaan dalam beberapa segi dasar. Jaringan yang menyusun tumbuh-tumbuhan terdiri dari jaringan muda dan dewasa. Jaringan-jaringan ini dapat ditemukan pada bagian akar, batang dan daun tumbuhan. Jaringan ini dapat dilihat dengan membuat suatu preparat penampang dari bagian-bagian tumbuhan (Amanda, 2007).
Berdasarkan teori diatas maka dilakukanlah percobaan tentang pembuatan preparat dengan metode parafin.

I.2 Tujuan Percobaan
            Tujuan dari percobaan ini yaitu untuk mengetahui cara pembutan preparat pada akar tanaman jagung Zea mays dengan menggunakan metode parafin.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Banyak cara dalam pembuatan preparat jaringan tumbuhan, diantaranya adalah dengan metode parafin. Metoda ini sekarang banyak digunakan, karena hampir semua macam jaringan dapat dipotong dengan baik bila menggunakan metoda ini. Kebaikan-kebaikan metoda ini adalah irisan yang dihasilkan jauh lebih tipis dari pada menggunakan metoda beku atau metoda seloidin. Dengan metoda beku, tebal irisan rata-rata diatas 10 mikron, tapi dengan metode paraffin tebal irisan dapat mencapai rata-rata 6 mikron. Irisan-irisan yang bersifat seri dapat dikerjakan dengan mudah bila menggunakan metode ini. Prosedurnya jauh lebih cepat dibandingkan dengan metode seloidin. Namun metode paraffin juga memiliki kelemahan yaitu jaringan menjadi keras, mengerut dan mudah patah. Jaringan-jaringan yang besar tidak dapat dikerjakaan, bila menggunakan metode ini. Sebagian besar enzim-enzim akan larut dengan medode ini (Praptomo, 2010).
Metode paraffin termasuk metode sayatan yang banyak digunakan, karena hampir semua jaringan dapat dipotong dengan metode ini. Pengamatan secara mikroskopis dari suatu jaringan dalam berbagai kondisi dan berbagai elemen jaringan dapat diamati atau diteliti melalui preparat permanen yang dibuat dengan metode paraffin. Pembuatan preparat dengan metode paraffin adalah metode yang paling umum digunakan untuk pembuatan preparat permanent, baik pada tumbuhan ataupun pada hewan (Anonim, 2011).
Metode parafin merupakan cara pembuatan preparat permanen yang menggunakan parafin sebagai media embedding dengan tebal irisan kurang lebih mencapai 6 mikron-8 mikron. Metode ini memiliki irisan yang lebih tipis daripada menggunakan metode beku atau metode seloidin yang tebal irisannya kurang lebih mencapai 10 mikron. Langkah-langkah penting dalam metode ini antara lain fiksasi, pencucian, dehidrasi, penjernihan, embedding, penyayatan (section), penempelan, pewarnaan, dan penutupan. Larutan fiksasi yang digunakan untuk proses fiksasi adalah larutan Bouine. Larutan fiksasi ini merupakan larutan yang mampu bereaksi dan menandai suatu sel dengan spesimen diiris setipis mungkin. Hal ini mendukung laju fiksasi dalam sel (Botanika 2008).
Proses pertama yang disiapkan dalam menyiapkan materi segar dalam pengamatan mikroskopis yaitu fiksasi. Tujuan dilakukannya fiksasi adalah mencegah kerusakan jaringan, menghentikan proses metabolisme secar cepat, mengawetkan komponen sitologis dan histologis, mengawetkan keadaan sebenarnya, mengeraskan materi yang lembek, dan jaringan-jaringan dapat diwarnai sehingga bisa diketahui bagian-bagian jaringan (Anonim, 2011).
Faktor-faktor yang berperan dalam fiksatif adalah buffer (pH), suhu yang rendah mencegah autolisis,untuk mendapatkan daya penetrasi yang tinggi digunakan irisan setipis mungkin, perubahan volume, osmolaliitas pada larutan fiksatif, penambahan deterjen sehingga fiksatif cepat masuk, konsentrasi, dan waktu fiksatif. Dehidrasi memiliki fungsi menghilangkan air dalam jaringan. Bahan yang digunakan untuk dehidrasi harus mampu menggantikan fungsi air. Dehidrasi yang baik dilakukan secara bertahap yaitu mulai dari konsentrasi 70% sesuai dengan pelarut Bouin formol kemudian berturut-turut ke dalam alkohol 80%, 90%, 96% dan alkohol absolut. Pada setiap konsentrasi dilakukan pengulangan 3 kali (Botanika, 2008).
Embedding merupakan proses pelilinan suatu organ dengan menggunakan kotak kertas. Proses ini memudahkan dalam membuat irisan yang sangat tipis dengan menggunakan mikrotom. Beberapa keuntungan menggunakan kotak kertas dalam embedding yaitu bisa membuat arah sayatan dan menandai suatu jaringan. Jaringan atau sampel akan ditanam di ketas kotak, dengan terlebih dahulu parafin membeku pada bagian dasar dalam kotak dan setelah penempelan jaringan dilanjutkan dengan penutupan dengan parafin sampai membeku (Anonim, 2011).
Proses penyayatan (sectioning) diawali dengan pengirisan blok parafin dengan scalpel, sehingga permukaan blok parafin yang akan diiris dengan mikrotom berbentuk segi empat. Letak mata pisau pada mikrotom menentukan hasil yang diperoleh. Hasil sayatan diambil dengan menggunakan kuas secara hati-hati. Pita hasil sayatan ditempel pada kaca objek dengan menggunakan meyer albumin. Kaca obyek tersebut diletakkan di atas meja penangas ( haeting plate). Meyer albumin memiliki kandungan putih telur dan gliserin dan merupakan pelakat alami yang sangat baik (Hugo 2008).Proses pewarnaan dilakukan setelah preparat dideparafinasi dengan merendam preparat pada xylol. Salah satu pewarna metode parafin pada jaringan hewan adalah hematoxylin dan Eosin. Zat warna hematoxilin ini bersifat aquaosa (Anonim, 2011).
Irisan utuh suatu specimen sangat bermanfaat bagi sudi pembelajaran. Dengan adanya preparat utuh maka dapat diamati bagian-bagian jaringan dan jenis sel yang ada dalam satu preparat. Dalam pembuatan preparat utuh diupayakan permanen atau awet agar sewaktu-waktu dapat diamati kembali. Dalam pembuatan preparat hendaknya dipahami karakteristik tanaman yang akan diambil sebagai spesimen. Karakteristik tersebut dapat berdasarkan atas pengelompokan jenis batang, termasuk dalam herba atau berkayu kemudian dilanjutkan berdasarkan penentuan tumbuhan tersebut tergolong dalam angiospermae atau gymnospermae dan selanjutnya tumbuhan itu tergolong dalam tumbuhan dikotil atau monokotil. Perbedaan karakteristik tumbuhan yang akan diambil sebagai spesimen menentukan larutan fiksatif dan zat warna yang akan digunkan dalam pembuatan preparat (Setjo, 2004).
Karakteristik tumbuhan yang akan diambil spesimennya juga menentukan waktu pada tahap-tahap pemrosesan. Misalnya waktu yang berlebih pada suatu tahap pengecatan akan mengakibatkan suatu warna menjadi terlalu gelap dan mungkin warna lainnya menjadi kurang atau bahkan hilang. Keberhasilan pembuatan preparat permanen ini tergantung pada lima tahap yang utama yaitu fiksasi, dehidrasi, penjernihan, perembesan dan pengeblokan parafin serta pewarnaan. Larutan fiksatif yang dipilih, perembesan parafin yang bagus dan zat warna yang akan digunakan menentukan keberhasilan preparat irisan (Setjo, 2004).
Pada prinsipnya pembuatan preparat irisan terdiri atas beberapa tahap yaitu koleksi specimen, fiksasi, dehidrasi, penjernihan, infiltrasi, pengeblokan, pengirisan, penempelan, pewarnaan dan mounting. Prinsip koleksi specimen adalah specimen tidak mengalami kekeringan dan kerusakan sebelum difiksasi. Tujuan fiksasi adalah untuk mematikan dengan cepat spesimen yang berupa jaringan dan sel-sel juga utuk mempertahankan struktur sel dan jaringan sebagaimana aslinya. Udara dalam jaringan spesimen harus dikeluarkan terlebih dahulu kemudian diganti dengan larutan fiksatif (Widjajanto dan Susetyoadi Setjo, 2001).
Selanjutnya dilakukan dehidrasi yaitu tahap pengeluaran air dari jaringan dengan perendaman alkohol secara bertingkat dan dalam jangka waktu tertentu. Kemudian pengambilan alkohol dilakukan dengan perendaman dalam xylol secara bertahap dengan jangka waktu tertentu. Proses penggantian larutan penjernih dengan merendam spesimen dalam parafin. Penggantian xylol dalam jaringan oleh parafin berlangsung secara berangsur-angsur. Proses penggantian ini berlangsung di dalam oven sehingga xylol tidak menguap dan parafin tidak membeku. Temperatur oven lebih tinggi sedikit di atas titik cair parafin (Widjajanto dan Susetyoadi Setjo, 2001).
Selanjutnya dilakukan pengeblokan atau embedding, pengeblokan ini mengguna-kan kotak atau takir yang dibuat dari kertas kalender. Pada saat pengeblokan spesimen diletakkan sesuai posisi yang diinginkan. Setelah itu parafin didinginkan dengan segera. Setelah dingin maka dilakukan pengirisan, pengirisan digunakan alat mikrotom biasanya dengan ukuran 10 mikron sampai 14 mikron. Irisan akan berbentuk seperti pita-pita. Pemindahan irisan menggunakan kuas kecil yang telah dibasahi ujungnya dengan air (Widjajanto dan Susetyoadi Setjo, 2001).
Penempelan menggunakan perekat haupt kemudian disimpan dalam kotak pengering. Selanjutnya akan dilakukan pewarnaan dan mounting. Dalam proses pewarnaan dilakukan dalam jangka waktu tertentu, jika terlalu lama atau terlalu singkat dapat menyebabkan warna preparat menjadi kurang atau bahkan terlalu gelap. Selanjutnya dilakukan mounting dengan ditetesi balsam kanada sehingga irisan akan tetap awet dengan struktur sel serta jaringan (Widjajanto dan Susetyoadi Setjo, 2001).
Proses penempelan spesimen ke kaca benda tidak benar-benar melekat sehingga saat pewarnaan spesimen ada yang lepas. Agar spesimen dapat menempel sempurna pada kaca benda dibutuhkan tenggat waktu yang cepat antara peletakkan spesimen pada kaca benda yang telah diberi pelekat Haupt. Setelah benar-benar melekat di kaca benda maka irisan yang berada di kaca benda dipanaskan di atas lampu spiritus untuk lebih memaksimalkan perlekatannya (Widjajanto dan Susetyoadi Setjo, 2001).
Zat warna yang digunakan tidak hanya satu macam karena tidak semua sel dapat menyerap satu macam zat warna. Pada saat pewarnaan preparat akar inisel dalam jaringan tidak terwarnai. Hal ini dapat disebabkan oleh waktu yang digunakan untuk pemberian warnanya terlalu singkat sehingga zat warna belum terserap sempurna oleh jaringan. Pewarna yang diberikan pada irisan dalam jangka waktu tertentu, kurang atau lebih waktu yang digunakan menyebabkan warna preparat menjadi kurang atau terlalu gelap. Sedangkan hasil preparat yang tidak utuh dapat disebabkan oleh suhu sekitar ruangan yang kurang mendukung saat dilakukan pengirisan selain itu masih tersisanya air atau alkohol dalam jaringan juga dapat menyulitkan dalam pengirisan (Widjajanto dan Susetyoadi Setjo, 2001).
Mikrotom adalah mesin untuk mengiris spesimen biologi menjadi bagian yang sangat tipis untuk pemeriksaan mikroskop. Beberapa mikrotom menggunakan pisau baja dan digunakan untuk mempersiapkan sayatan jaringan hewan atau tumbuhan dalam histologi (Wikipedia, 2011).
Mikrotom tangan merupakan mikrotom dengan bentuk paling sederhana. Alat ini biasa digunakan di laboratorium sekolah untuk membuat sayatan spesimen yang tipis sekali (kurang lebih 20), supaya dapat dilihat di bawah mikroskop. Misalnya sayatan daun, batang, akar, dan sebagainya (Anonim, 2011).
Alat ini terbuat dari logam berbentuk seperti klos benang yang berongga di tengah. Di dalam rongga terdapat sebuah ulir yang bagian atasnya rata dan bagian bawahnya melekat atau bersatu dengan dasar alat itu. Bila dasar alat itu diputar dari kiri atau ke kanan, maka bidang ulir bagian atas yang rata itu akan bergerak ke atas atau ke bawah dengan interval 20 tiap putaran. Rongga tersebut adalah tempat untuk meletakkan benda yang akan disayat tipis, biasanya dibalut lilin atau gabus (Wikipedia, 2011).


BAB III
METODE PERCOBAAN

III.1 Alat
            Alat yang digunakan dalam percobaan ini yaitu penggaris, silet, pipet tetes, botol kaca, botol plastik, pisau, nampan dan gelas ukur.

III.2 Bahan
            Bahan yang digunakan dalam percobaan ini yaitu air, tanaman jagung Zea mays, aquadest, alkohol, formalin, box kecil, xilol, parafin dan asam asetat.

III.3 Cara Kerja
Cara kerja pada percobaan ini yaitu :
Menyiapkan semua alat dan bahan yang akan digunakan
Membuat larutan yang akan digunakan
Memotong akar dari jagung secara melintang dengan panjang 2 mm
Menfiksasi dengan cara merendam akar tersebut pada larutan FAA selama 24 jam
Mendehidrasikan dengan alkohol bertingkat yaitu 70%, 80%, 90%, dan 96% masing – masing selama 30 menit.
Mendealkoholisasikan dengan perbandingan alkohol xilol yaitu 3 : 1, 1 : 1, dan 1 : 3
Kemudian merendamnya lagi pada xilol 1 dan xilol 2 masing – masing sebanyak 10 ml selama 30 menit
Meremdamnya lagi pada perbandingan xilol parafin yaitu 1 : 9
Menfiltrasi dengan parafin murni, infiltrasi 1 untuk mencelupkan dan infiltrasi 2 untuk mencetak
Melakukan penyelubungan yaitu penanaman jaringan dengan menggunakan parafin murni, dengan menuang parafin ke dalam box kertas yang telah dibuat kemudian dimasukkan jaringan tumbuhan dan biarkan membeku selama beberapa hari.


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Percobaan ini membuat preparat dengan menggunakan akar dari tanam jagung Zea mays dengan metode parafin. Akar dari tanaman tersebut dipotong secara melintang dengan ketebalan 2 mm. Selanjutnya difiksasi menggunakan larutan FAA (Formalin, Asam asetat glacial dan alkohol 96%) selama 24 jam, dengan tujuan untuk menjaga atau mengawetkan seluruh stuktur sel sehingga sedapat mungkin berada dalam keadaan sama atau hampir sama dengan keadaan aslinya pada waktu masih hidup. Kemudian di dehidrasi dengan menggunakan alkohol bertingkat yang dimulai dari konsentrasi 70%, 80%, 90%, dan 96% masing-masing selama 30 menit, dengan tujuan untuk menghilangkan kandungan air. Selanjutnya melakukan dealkoholosasi yang menggunkan perbandingan xilol : alcohol yaitu 1:3, 1:1, dan 3:1 masing-masing selama 30 menit, dengan tujuan mengeluaran alkohol dari jaringan tersebut juga maksimal sehingga larutan xilol inilah yang nantinya dapat terikat langsung dengan parafin dan agar jaringan akar tersebut dapat beradaptasi.
Selanjutnya dilakukan perendaman dengan menggunakan xilol murni yaitu xilol I dan xilol II masing-masing 30 menit, dengan tujuan agar jaringan betul-betul bebas dari alkohol sehingga hanya ada xilol yang tersisa. kemudian dilanjutkan perendaman menggunakan perbandingan xilol : parafin yaitu 1 : 9 selama 30 menit, dengan tujuan untuk menghilangkan xilol dari jaringan. Kemudian melakukan infiltrasi dengan menggunakan parafin murni, infiltrasi I dilakukan untuk mencelupkan, hal tersebut dilakukan untuk menghilangkan kandungan xilol secara maksimum serta untuk merekatkan jaringan dan infiltrasi II untuk mencetak kedalam box kecil yang sudah disediakan, hal tersebut dilakukan agar jaringan dapat dengan mudah terpotong tanpa merusak jaringan akar tersebut. Kemudian dilakukan pengirisan dengan menggunakan mikrotom, namun hal ini tidak dilakukan karena alat tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi.

BAB V
PENUTUP

V.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari hasil percobaan yang telah dilakukan yaitu metode parafin merupakan suatu cara pembuatan preparat yang menggunakan parafin sebagai media penanamannya. Pembuatan preparat pada metode parafin ini terdiri dari beberapa tahap yaitu pemotongan, fiksasi, dehidrasi, dealkoholisasi, infiltrasi, perekatan dengan gliserin, dan pewarnaan.


DAFTAR PUSTAKA

Amanda, 2007, Membuat Preparat Melintang Dengan Metode Parafin, http://monocotil.blogspot.com, Diakses pada tanggal 20 September 2011.

Botanika, 2008, Fixation, Embedding, Sectioning, http://botanika.biologija.org, Diakses pada tanggal 20 September 2011.

Lianury, Robby N, 2000, Histologi, Universitas Hasanuddin Press, Makassar.

Praptomo, 2010, Pembuatan Preparat Parafin Jaringan Tumbuhan (Mikroteknik), http://www.nagkoyo.com, Diakses pada tanggal 20 September 2011.

Rina, 2011, Mikroteknik, http://rinaningtyas.blogspot.com, Diakses pada tanggal 20 September 2011.

Setjo, Susetyoadi, 2004, Anatomi Tumbuhan, Universitas Negeri Malang, Malang.

Widjajanto dan Susetyoadi Setjo, 2001, Mikroteknik Tumbuhan, Universitas Negeri Malang, Malang.

Wikipedia, 2011, Mikrotom, http://www.wikipedia.com, Diakses pada tanggal 20 September 2011.